CATATAN PERJALANAN KE MEDAN, DANAU TOBA, DAN PULAU SAMOSIR

Mengenang tulisan Prof. Rindit Pambayun, seorang ilmuwan, guru besar, cendikiawan, peneliti yang banyak menebar manfaat dan banyak berkontribusi dalam keilmuan Indonesia, khususnya di bidang pangan. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi. Selamat membaca.

Siang itu, tanggal 23 Maret 2018, setelah kuliah umum di Prodi ITP FP USU dan shalat Jum’at di Masjid FKIP USU, kami (Ridwansyah, Fuad Harahap, dan saya) dari Medan menuju ke arah Danau Toba. Rencana perjalanan ditempuh melalui Jalur Medan-Brastagi-Tele-Pangururan sempat tergundahkan oleh karena Bapak Dekan FP USU, Dr. Ir. H. Hasanuddin, M.Si. memberi isyarat bahwa ada jalan terkena longsor di jalur yang akan kami lalui. Pak Fuad, dosen muda Fapet USU yang paling berpengalaman melintasi jalur tersebut segera melakukan konfirmasi ke beberapa sopir transportasi umum (public transportation), hasilnya dapat disimpulkan bahwa jalur tersebut aman dari longsor, dan aman dilalui. Keraguan kami hilang, dan kami memutuskan ke Toba tetap melalui jalur Medan-Brastagi-Tele-Pangururan (Ibu Kota Samosir).

Kami meluncur keluar dari kampus, melintas Jl. Jamin Ginting yang sangat panjang, naik ke Brastagi. Selama melintas di Jl. Jamin Ginting, ramainya kendaraan sangat terasa. Begitu naik ke arah Brastagi, yang merupakan Kawasan Kabupaten Karo (beribukota di Kabanjahe), terasa udara alam pegunungan yang sejuk, udara bersih, dan jalan mulai agak lengang. Nampak di depan sebelah kanan sebuah gunung, yang semula saya pikir itu adalah Gunung Sinabung yang terkenal seantero nusantara karena frekuensi dan kedahsyatan letusannya, tetapi Pak Fuad segara menyatakan bahwa itu adalah Gunung Sibayak. Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung adalah dua gunung aktif di daerah itu. Tetapi, belakangan Gunung Sibabung lebih sering meletus, dan Sibayak agak kurang aktif. Kurang aktifnya Sibanyak diduga, di sebelah bawah ada saluran uap panas yang dijadikan sebagai sumber tenaga listrik oleh pemerintah. Disamping itu, ada beberapa pemandian air panas, di antaranya yang paling sering dikunjungi adalah Pemandian Air Panas Debu-debu. Atas perkiraan itulah, tekanan Sibayak lebih tersalurkan dibanding Sinabung, dan akhirnya Sibayak jarang unjuk gigi. Oleh karena alamnya yang indah dan sejuk dan sumber air bersih dari mata air mengalir terus, di Kaki Gunung Sibayak juga ada Bumi Perkemahan Sibolangit, yang sering digunakan untuk area berkemah bagi pramuka dari berbagai penjuru daerah. Mendekati Brastagi, ada Pabrik Aqua yang memproduksi air mineral Merk Aqua, baik galon, botol, maupun kemasan cup. Ini membantu penurunan harga satu galon Aqua di Medan hanya Rp. 17.000, sedang di Palembang hampir Rp. 30.000 (karena Aqua galon di Palembang didatangkan dari Pabrik Aqua di Lampung).

Gunung Sibayak tampak seperti ini jika dilihat dari jalan menuju Brastagi

Tidak terasa, Kota Brastagi sudah mulai Nampak di depan mata. Yang menarik, di Brastagi, di kiri kanan jalan banyak tanaman bunga (terutama bunga kana, merah dan kuning). Selain itu, bermacam tanaman bunga juga ada, bahkan ada beberapa depot bunga, terutama di pinggir Pasar Buah Brastagi. Beberapa orang menjajakan kuda sewaannya untuk disewa oleh wisatawan keliling kota. Selain itu, kereta kuda juga masih digunakan sebagai sarana angkutan kota. Kami sempat berhenti di Brastagi untuk melaksanakan shalat ashar (terutama bagi Pak Fuad dan Pak Ridwan, sedang saya sudah menjamaknya di Medan saat shalat Jum’at). Sementara menunggu mereka shalat, kami sempat berfoto di taman keluarga yang letaknya tepat di samping pasar buah. Di tempat ini ada beberapa taman untuk rekreasi keluarga, seperti Bukit Kubu. Bahkan di Kawasan Kecamatan Brastagi dari jalan raya ada anak panah yang menuju ke tempat wisata anak muda yang dikenal dengan Gundaling. Konon nama itu diambil dari peristiwa yang pernah terjadi pada jaman dahulu kala, ada orang asing berpacaran dengan gadis pribumi (Gadis Karo), dan setelah turun dari kawasan itu, si pemuda orang asing menyatakan good bay my darling. Semenjak itu, tempat itu dikenal dengan sebutan Gundaling, yang tidak lain singkatan dari good bay my darling. Selain tempat wisata, di Daerah Kabupaten Karo banyak tempat yang disebut Jambur, tempat orang berkumpul atau berpesta, pada saat ada pernikahan yang dirayakan secara adat.

Foto saat kami berada di Kota Brastagi, di kota ini banyak kuda sewaan dan kereta kuda sebagai alat transportasi

Setelah shalat, kami mampir di pasar buah untuk belanja buah di makan di jalan. Kami membeli markisa, salak, dan manggis. Harga buah di pasar buah ini tidak begitu berbeda dibanding dengan harga buah di Kota Medan. Harga markisa satu kg Rp. 30.000, manggis Rp. 27.500, dan salak Rp. 15.000. Jika diperhatikan, pasar buah ini  didominasi oleh buah lokal, terutama markisa, strawberry, dan terong belanda. Sesudah belanja buah, kami meneruskan perjalanan lagi. Di depan, nampak agak macet karena ada simpang tiga dari jalan pintas yang tidak melalui Brastagi. Sambil menikmati kemacetan, kami memperhatikan kiri-kanan jalan yang dilalui. Tampak ada bangunan yang mirip rumah namun tidak ada penghuninya. Bangunan seperti itu adalah makam bagi leluhur Orang Karo. Ada yang besar dan megah, sederhana, dan ada yang kecil. Itu menandakan tingkat strata sosial bagi orang Karo dalam menyediakan “tempat istirahat” leluhurnya. Kepercayaan mereka, leluhur yang sudah meninggal membutuhkan tempat istirahan yang layak, maka dibuatkanlah tempat yang merupakan kuburan tersebut. Masyarakat Karo banyak yang memeluk agama Katolik. Tampak setiap beberapa km ada rambu yang menunjukan bahwa di depan dapat dijumpai gereja. Kebanyakan yang ada adalah gereja katolik, yang bercirikan, batu merah tidak diplester.

Space untuk wisata keluarga disediakan di Kota Brastagi, tampak bersih, sejuk, dan rindang

Bagi masyarakat Karo, sesuai dengan agamanya dan keyakinannya, mengkonsumsi makanan babi adalah dibolehkan. Tidak heran jika di kanan kiri jalan ada rumah makan bertuliskan BPK. Singkatan ini, kalua di Karo artinya bahwa rumah makan tersebut menyediakan masakan BPK (“babi panggang karo”), masakan khas bagi Masyarakat Karo. Tentu, menu masakan seperti itu (BPK) tidak mudah dijumpai di daerah lain, karena merupakan ciri khas masakan di Karo.

Tidak terasa, hari semakin sore, dan kami telah melintasi minimal empat Kota/Kabupaten, yakni Kota Medan, Kabupaten Deli serdang (Ibu Kota Lubuk Pakam), Kabupaten Simalungun (Ibu Kota Pematang Siantar) dan Kabupaten Karo (Ibu Kota Kanbanjahe). Perjalanan kami terus menelusuri Perbukitan Karo, dan sampailah ke Wilayah Kabupaten Dairi (yang beribu Kota di Sidikalang).

Kondisi jalan di Kabupaten Dairi yang kami lewati, sebagian masih dalam perbaikan. Tampak, kiri kanan banyak pohon kayu besar.

Kabupaten Dairi terletak di sebelah Barat Laut Propinsi Sumatera Utara. Dari Kabupaten ini di beberapa ruas jalan, keindahan Danau Toba sudah mulai nampak. Namun karena kami sampai di kabupaten ini sudah senja, keindahan danau Toba tidak bisa kami nikmati. Yang terkesan dari perjalanan kami adalah bahwa jalan ini banyak lurus, kiri kanan hutan dengan pohon besar. Saya ingat jika ke luar kota dengan Prof. Kamaludin, kami sepakat menikmati hijaunya pepohonan di pinggir jalan. Sebelum mencapai jalan lurus, banyak dijumpai jalan kelok dan tebing serta jurang. Bahkan dari kontur tanahnya, jalan ini dapat terjadi longsor jika musim hujan tiba. Oleh sebab itu, jika musim hujan, ke Danau Toba tidak direkomendasikan melalui jalur ini. Sebenarnya, selain panorama danau, ada beberapa air terjun, bahkan ada air terjun yang terkenal, yakni Air Terjun Lae Basbas. Tetapi kami hanya melihat air terjun kecil di pinggir jalan, itupun kering saat kemarau, kata Pak Fuad.

Perjalanan kami sampai pada Tele, sekitar jam 20.30. Tempat ini adaplah Tempat Menara Pandang untuk menikmati panorama Danau Toba yang dikelilingi oleh tujuh kabupaten. Ada dua menara, yang satu baru saja diresmikan jadi belum bisa digunakan, atau belum dibuka untuk umum. Namun demikian, kami juga tidak bisa menikmati panorama karena hari sudah malam. Jalan dari Tele menuju Pulau Samosir, adalah berliku menurun terjal. Tak terpikir, siapakah yang menemukan jalur yang begitu eksotik ini? Orangnya sungguh luar biasa. Tidak terasa, kami sudah sampai di jembatan yang sangat spektakuler, karena dari jembatan inilah kita bisa masuk Pulau Samosir, namanya Jembatan Tano Ponggol. Kalau melihat kondisinya, boleh jadi bahwa Samosir adalah bukan pulau tetapi daratan yang bersambung dengan daratan Sumatera, hanya seolah-olah mirip pulau. Menurut Pak Fuad, dan juga salah satu tamu wisatawan dari Medan yang menginap di Samosir Resort, yang sempat ketemu sesaat di pantai, Jembatan Tano Ponggol adalah jembatan kecil (tidak lebih dari 10 m panjangnya) di atas “tanah yang terbelah” (tano ponggol) ini dibangun pada tahun 1907 oleh Belanda. Dan “sungai” di bawahnya sangat dangkal, tetapi beberapa kali dilakukan usaha pengkerukan untuk membuat terusan, juga tidak berhasil.

Jembatan Tano Ponggol di Pangururan, Ibu Kota Kabupaten Samosir

Kami berhasil melintasi Jembatan Tano Pnggol tepat jam 21.10, dan sempat berfoto meskipun hasilnya agak gelap.

Dari jembatan ini, kami langsung mencari rumah makan muslim di pinggir Kota Pangururan. Menemukan rumah makan masakan Jawa, kami memesan nila goreng, soto, dan daun ubi tumbuk dimasak santan. Meskipun menu sederhana, makanan ini terasa sangat nikmat untuk disantap. Tidak mudah bagi wisatawan muslim menemukan rumah makan halal di kawasan ini. Oleh sebab itu, ke depan hal seperti ini harus dipikirkan, untuk mendukung pengembangan Samosir dan Toba sebagai daerah kunjungan wisata.

Setelah makan malam, kami berusaha keliling Kota Pangururan, yang merupakan ibu kota Kabupaten Samosir. Kota ini kecil dan kurang tertata rapi, karena dulunya hanya kecamatan. Bahkan, antara Kantor Bupati dan Perkantoran SKPD belum ada jalan pintas. Hal ini kadang memperpanjang perjalanan para kepala dinas atau PNS setelah apel hari Senin di Kantor Bupati. Sesudah itu, mereka harus kembali ke kantor masing-masing yang paling cepat memakan waktu 30 menit.

Posisi Tuk Tuk dari Pangururan dan Jembatan Tano Ponggol. Tanda lingkaran dan garis kuning adalah lintasan yang kami lalui (Sumber: dimedan co, 2008).

Dari kekliling kota, kami terus menuju Tuk Tuk, daerah di mana banyak  hotel tempat para wisatawan menginap. Jarak antara Pangururan ke Tuk Tuk sekitar 40 km, memakan waktu sekitar 1 jam. Letak Tuk Tuk, tepat di balik Pangururan ke arah Timur Laut. Tuk Tuk, jika di Bali mirip daerah sekitar Tanjung Benoa. Di tempat seperti ini, sangat ideal untuk membangun hotel atau resort.

Sampai di Tuk Tuk, setelah melalui beberapa pertimbangan, kami memilih tinggal di Hotel Samosir, yang memiliki view bagus. Saya tinggal di Kamar 15 sedang Pak Ridwan dan Pak Fuad tinggal di Kamar 16. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 sampai di kamar. Kami mandi, shalat Isya dan Maghrib,  terus istirahat tidur.

Resort Samosir tempat kami menginap satu malam di Kamar 15 yang bisa melihat pantai dari dalam kamar.

Tanggal 24 kami bangun jam 05.30, shalat subuh dan sempat membaca Al Quran Surat An Nahl 44-50. Bangun agak kesiangan. Rencana kami menyeberang melalui Pelabuhan Tomok dengan kapal Feri ke Prapat yang dijadwalkan jam 07.00, tidak keburu. Pak Fuad langsung memutuskan menyeberang Lewat Pelabuhan Simanindo menuju Tigaras, jadwalnya Jam 09.00. Dari Hotel ke Simanindo berjarak 19 km, jadi kami berusaha mengejar kapal yang jam 09.00.

Di tengah perjalanan Tuk Tuk – Simanindo, ada cagar budaya tempat bersidang bagi warga batak. Nama objek wisata ini adalah Batu Kursi Raja Siallagan (Stone Chair of King Siallagan). Besyukur, kami sempat masuk cagar budaya ini, yang merupakan kampung kecil yang dilestarikan. Begitu masuk, terlihat sederetan rumah adat Batak, ada rumah untuk wanita (pintu menjorok ke dalam) dan rumah laki-laki. Setiap rumah di bagian luarnya dilengkapi dengan ornament ukiran khas batak, sehingga nampak sangat artistik.

Rumah asli orang batak, di luar penuh ornament ukiran, nampak artistik. Rumah ini pintunya menjorok ke dalam, jadi untuk wanita.

Di depan deretan rumah, ada meja dan kursi terbuat dari batu yang disusun secara meklingkar. Konon, susunan meja kursi dari batu ini adalah tempat bermusyawarah dan bersidang jika ada warga yang bersalah dan disidang pengadilan.

Meja kursi batu persidangan yang tersusun sedemikian rupa, untuk bermusyawarah.

Orang yang menjadi terdakwa dipasung terlebih dahulu di dalam kamar berjeruji dari kayu, di bawah tangga rumah. Yang bersangkutan bisa ikut mendengarkan persidangan pengadilan yang sedang berlangsung. Dari prosesi pengadilan ini, ada suatu pelajaran bahwa, menentukan hukuman bagi seseorang yang bersalah, dilakukan sangat hati-hati, melalui persidangan yang dipimpin raja melibatkan para tokoh adat yang dihormati. Jika sudah diputuskan hukuman, maka selanjutnya adalah eksekusi. Untuk hukuman berat, seperti membunuh dan memperkosa, tersidang dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya ujar Pak Fuad dan beberapa sumber yang ada.

Tempat yang digunakan untuk eksekusi, bisa disaksikan warga masyarakat

Pelaksanaan hukuman mati dapat disaksikan oleh seluruh masyarakat. Di sini mengandung arti untuk ibroh, contoh bahwa siapa berbuat kejahatan maka dia harus bertanggung jawab.  Dari pelajaran ini,  masyarakat menjadi takut melakukan kejahatan. Hukum ditegakkan se adil-adilnya, tidak dimainkan dengan uang atau sogokan yang berupa barang berharga.

Pelaksanaan eksekusi didahului dengan menyayat terdakwa. Setelah disayat, bekas sayatan dikasih garam. Jika terdakwa tidak merasa pedih, menandakan terdakwa punya ilmu kekebalan, maka diundang dukun untuk mengeluarkannya. Sebaliknya jika terdakwa merasa pedih dengan garam pada sayatan, berarti terdakwa tidak memiliki ilmu kekebalan, dan dia langsung dieksekusi dengan cara dipenggal. Nampak bahwa di sini ada unsur keadilan bagi warga, kesalahan yang dibuat harus dipertanggungjawabkan dan dihukum setimpal.

Batu eksekusi yang tentunya menyeramkan pada jamannya. Terdakwa diminta berbaring untuk dieksekusi.

Setelah terdakwa benar-benar dinyatakan mati, badannya dibelah untuk diambil jantung hatinya. Menurut kepercayaan, jantung hati sangat baik untuk memberikan kekuatan bagi yang mengkonsumsinya. Jadi, jantung hati dimakan oleh para tentara supaya kuat dalam berperang. Pada kasus ini, mungkin inilah yang oleh cerita dikatakan, bahwa dahulu kala, orang batak suka makan orang, ujar Pak Fuad Harahap. Wallahu ‘alam bissawab.

Setelah menyaksikan kampung etnik yang merupakan cagar budaya, kami keluar danharus melalui pintu yang berbeda (kami keluar lewat pintu belakang). Di kanan kiri lorong keluar, tampak ada kios penjual souvenir khas batak. Begitu ke luar, kami menuju ke Pelabuhan Simanindo, yang jaraknya tinggal beberapa milometer lagi.

Sampai di Simanindo, benar ada kapal jam 09.00, menuju pelabuhan dari Pantai Sumatera Tigaras. Kapal ini cukup besar, menampung puluhan mobil dan satu bus tiga-perempat. Setelah menunggu beberapa saat, kamipun naik kapal dan menyeberangi danau menuju Tigaras. Penyeberangan berlangsung sekitar 30 menit.

Suasana di Pelabuhan Simanindo, tidak begitu rapai, ada kapal kayu untuk penumpang tanpa mobil dan Feri kecil yang bisa memuat mobil.

Selama dalam penyeberangan, kami sangat menikmati panorama dua pantai, pantai Pulau Samosir, dan pantai daratan Sumatera. Pulau yang sebenarnya mungkin bukan pulau, nampak terbentang dari arah Barat ke Timur, kelihatan sangat subur menghijau, dibalut dengan kilauan ombak berwarna biru. Benar kata Pak Fuad, mata penceharian penduduk Pulau Samosir kebanyakan adalah peternak, petani, dan juga nelayan.

Kapal Feri yang kami naiki, menyeberang dari Simanindo (Pulau Samosir) menuju Tigaras (daratan Pulau Sumatera, di Sumatera Utara)

Di “selat” yang kami seberangi, Nampak dua pulau kecil yang berpenghuni. Salah satunya adalah pulau kecil yang ditanami  pohon kelapa dan jagung.

Dua pulau kecil di “selat” ini, satu diantaranya ditanami kelapa dan jagung.

Kami turun di Tigaras langsung menuju ke Pematang Siantar, melalui perkebunan Teh Sidamanik. Jalannya kurang begitu mulus tetapi lebih bagus melalui jalur ini dari pada melalui Prapat dengan Kapal Feri yang jam 10.00.

Panorama daratan Sumatera menjelang kami berlabuh, di Pelabuhan Tigaras.

Jalur dari Tigaras ke Siantar arahnya ke Timur ditempuh dalam waktu hampir dua jam. Jalan di jalur ini agak sepi, dan banyak kondisi jalan yang harus diperbaiki. Namun, panorama hijau di kiri-kanan jalan, dan juga perkebunan kopi rakyat yang menanam jenis kopi Ateng, cukup menghibur perjalanan kami. Sehingga, tanpa dirasa, kami sampai di Pematang Siantar, kota terbesar kedua setelah Medan.

Sampai di Siantar kami berhenti sejenak membeli Roti Ganda, khas Siantar. Roti ini yang spesifik adalah rasa selainya, manis menggigit beraroma Maillard dan karamel, cocok dipadukan dengan  adonan gandum yang baru keluar dari oven, menjadi anget-enget manis beraroma Maillard dan karamel.

Mampir sejenak di Toko Roti Ganda, roti khas Siantar karena perpaduan aroma Maillard dan caramel pada selai dan rotinya

Kota siantar menurut Pak Fuad adalah kota terbesar kedua setelah Medan di Propinsi Sumatera Utara. Bagi saya, kota ini cukup bersih, tertata rapih, dan kepadatan penduduknya cukup padat. Mungkin kota ini sangat cocok untuk peristirahatan atau melepas lelah saat bekerja berminggu atau berbulan-buan. Kota ini adalah Ibukota Kabupaten Simalungun, berjarak kurang lebih 130 dari Medan. Nama kota ini, sudah saya kenal sejak saya menjadi murid SD, menghafal kota-kota besar di seluruh Indonesia. Bersyukur, saya telah menginjakkan kaki dan menyaksikan dari dekat kota ini.

Dari Siantar kami menuju ke Tebing Tinggi dengan arah ke Utara. Perjalanan ini melintasi jalur trans Sumatera yang cukup ramai dengan kendaraan di sepanjang jalan. Sampai di Tebing Tinggi, tepatnya di Simpang Beo, kami belok kiri, menuju di RM Cindelaras, untuk makan siang. Kurang lebih satu setengah kilo meter, kami menemukan Rumah Makan yang dicari, Cindelaras. Nama rumah makan ini sangat familier bagi saya dan sudah saya kenal sejak saya kelas tiga SD, saat nenek mendongeng untuk saya sebelum saya tidur, dengan judul Dongeng Cindelaras. Cerita dalam dongeng, ada seorang anak raja yang dibuang ke hutan oleh ibunya karena ada peperangan di negaranya, dengan dibekali telur ayam. sampai di hutan, telur ayam tadi menetas dan menjadi jago (ayam jantan) yang sangat sakti, yang sangat “jagoan”. Saat raja mengadakan sayembara adu ayam, Cinelaras berkesempatan ikut dan ayam Cindelaras menjadi pemenangnya. Dari cerita itu, Cindelaras akhirnya menjadi raja. Saya agak heran, nama itu dipakai sebagai nama rumah makan di Sumatera, mungkin yang punya orang dari Jwa.

Di RM Cindelaras, menu makanan sangat cocok bagi saya. Setelah memesan ikan nila goreng, cah kangkung, tahu dan tempe goreng, dan ditemani es jeruk-dogan, dengan tendangan sambal pedas yang gurih, rasanya nikmat sekali.

Selesai makan, kami shalat dzuhur dijama-qosor dengan shalat ashar di rumah makan ini, yang kebetulan menyediakan Mushala di Lantai Dua. Pak Daud mentargetkan, dari  Tebing Tinggi paling lambat jam 13.00 kami harus strart menuju Kuala Namu supaya bisa datang tepat sesuai dengan jadwal penerbangan saya, GA 121 jam 16.05 dari Kuala Namu ke Jakarta.

Di perjalanan, kami melintasi perkebunan karet milik PT. Brigestone, merek ban terkenal di Indonesia. Tidak lama kemudian, kami sampai di pintu tol menuju Kuala Namu. Tol ditempuh dalam waktu kurang lebih setengah jam. Keluar tol, kami langsung menuju Bandara Kuala Namu, dan sampai di bandara, baru jam 14.05. Kami punya waktu istirahat sambil menunggu Pak Fuad mengurus tiket ke Jakarta. Tidak lama kemudian Prof. Elisa Julianti dan suaminya datang menemui kami, di bandara ini.

Saya sangat senang berkunjung ke Medan dan sempat ke Pulau Samosir Danau Toba yang sangat terkenal. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan oleh Nya sehingga saya bisa menginjakkan kaki di salah satu belahan bumi ciptaan Nya yang begitu indah serta memiliki segudang cerita tentang etnik yang sangat terkenal di tanah air, yakni Danau Toba. Kunjungan ini juga karena kemurahan Allah dan atas kebaikan beliau-beliau yang saya sebutkan berikut.

Betapa tidak, dengan kebaikan Dekan FP USU, Bapak Dr. Ir. H. Hasanuddin, M.Si.  yang dengan ihlas meminjamkan mobil dinasnya disertai orang yang sangat tepat membawa kami travelling ke Danau Toba adalah karunia besar bagi kami. Bukan hanya meminjamkan mobil, tetapi beliau memberi arahan dari jauh supaya perjalanan kami lancar.

Selanjutnya, kebaikan Ibu Kaprodi ITP, Prof. Dr. Ir. Elisa Julianti, M.Si. yang juga Ketua Patpi Cabang Sumut dan keluarga juga sangat perhatian ke kami saat dalam perjalanan ke Toba sangat membesarkan hati kami.

Ibu Dr. Ir. Hotnida Sinaga, M. Phill., ketua panitia yang ikut menjemput kedatangan kami sampai ke tempat menikmati Durian Ucok, meski hanya menemani, tetapi beliau sangat baik dalam mendampingi kami adalah modal kami untuk menikmati Medan secara utuh.

Terkhusus Pak Ridwansyah, STP., M.Si. dan Pak Fuad Harahap SPt., M.Si. yang dari awal merencanakan, menjemput, sampai ikut menemani tepatnya dari kedatangan hingga kepulangan saya ke Bandara Kuala Namu memberikan kesan yang mendalam tentang makna perjalanan kami. Semua itu sungguh merupakan karunia tuhan yang sangat besar bagi saya, dan saya hanya bisa berdoa semoga semua jasa serta kebaikan mereka kepada saya dibalas dengan kebaikan berlipat ganda oleh Tuhan Yang Maha Esa. (Medan 22-24 Maret 18)

Comments (2)

  • Hamdan riswendi..

    Begitu indah perjalanan ini.dgn rasa syukur yg sangat dalam KPD sang pencipta..atas kebesaran meciptakan bumi sumatara Utara yg menakjubkan….terima kasih kepada penulis semoga menjadikan maping saya ..Utk niat berkunjung ke daerah Sumatra Utara..aamiin

    Reply
  • M.Alisyahbana Siregar

    Maaf sedikit meralat dari tulisan bapak diatas,Pematang Siantar bukan Ibukota kabupaten Simalungun pak,Pematang Siantar itu Kota madya,ibukota Kabupaten Simalungun adalah Raya.

    Reply

Leave Comment

Leave a Reply to M.Alisyahbana Siregar Cancel

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.